Kamis, 04 November 2010

Cerita Mak' Rus...

Pagi itu, suasana jalan di depan pintu Stasiun Kota agak sepi. Tetapi, di satu sudut jalan orang-orang mengerubungi sebuah pohon. Bukan pohonnya ternyata yang menarik mereka, tetapi seorang wanita penjual getuk dan pecel gendong. Rustinah namanya.
Delapan tahun yang lalu, Rustinah hijrah dari Indramayu ke Jakarta. Ia memilih hidup dengan berjualan pecel dan getuk buatannya di daerah Kota. "Di kampung gak bisa kerja apa-apa. Kerjaannya cuma ngutang sana-sini buat makan,” begitu jawab Rustinah ketika ditanya alasan dirinya dan keluarga pindah ke Jakarta.
Pukul delapan hingga sembilan pagi ia biasa berjualan di depan stasiun, lalu jika dagangannya masih belum habis ia akan berkeliling menjajakan getuk dan pecel dari Kota hingga ke Pasar Asemka. "Mau apa, sayang?" begitulah ia kerap menyapa para pelanggannya. Sosok wanita beranak tiga ini begitu ramah dan akrab dengan para pelanggan. Satu porsi pecel lengkap dengan gorengan dijual dengan harga Rp 4000,- sedangkan seporsi getuk berisi jendil, tiwul, ketan hitam dan kue singkong ditabur parutan kelapa dan gula pasir berharga Rp 2000,- .
Mak' Rus menyiapkan pecel untuk 
salah seorang pembeli. Foto dok: Chrestella
Tidak banyak keuntungan yang ia dapat, kurang lebih Rp 30000,- per harinya. Sisa uang tersebut digunakan untuk membayar hutang belanjaan bahan-bahan dagangan. Berkeliling dari pukul sembilan hingga pukul sebelas di tengah cuaca yang begitu panas membuat Rustinah tidak jarang duduk dan menghela napas. Setelah berjualan sana-sini, Rustinah lalu pulang ke rumahnya di kawasan Kampung Kencur. Semua ia lakukan dengan berjalan kaki. 
Sesampainya dirumah, Rustinah akan beristirahat sejenak sebelum pergi berbelanja dan menyiapkan masakan untuk jualan esok hari. Pada jam 2, ia akan mulai membuat lontong untuk pecel, lontong direbus selama empat jam. Selanjutnya membuat isi getuk, mulai dari jendil, kue singkong, tiwul, dan ketan hitam. Selama menunggu getuk matang, Rustinah akan membuat sambal pecel. Biasanya Rustinah menggunakan satu kilogram kacang dan setengah kilogram cabai untuk satu kali berjualan. Sedangkan sayuran dan bakwan akan dimasaknya jam 3 subuh supaya pada pagi hari jualannya masih segar.
Berjualan dan memasak setiap hari membuatnya lelah, namun Rustinah mengatakan sudah tidak ada lagi pilihan, hanya ini yang bisa ia dan suaminya kerjakan. Kedua anak perempuannya sudah menikah, sedangkan anak ketiganya hanya sekolah hingga SD lalu bekerja dan tinggal di kawasan Mangga Dua. Dengan berjualan getuk dan pecel, Rustinah tidak sekedar mencari uang, tetapi turut melestarikan makanan khas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar