Rambutnya hitam legam. Pakaiannya bersahaja. Sebuah senyum senantiasa menghiasi bibirnya. Itulah Siti Nurrofiqoh. Seorang buruh yang membawa perubahan besar bagi orang – orang di sekitarnya. Keseharian Siti disibukkan oleh kegiatannya untuk melatih dan memperjuangkan hak kaum buruh melalui Serikat Buruh Bangkit yang didirikannya tahun 2006. Pertemuannya dengan Andreas Harsono, pendiri Yayasan Pantau dan jurnalis lepas menginspirasi dirinya untuk terjun ke dalam dunia tulis - menulis. Sebagai seorang ketua umum Serikat Buruh Bangkit dan penulis lepas, Siti tetap menganggap dirinya sebagai seorang buruh. Di balik ketenaran serta kesuksesannya saat ini, tersimpan cerita sedih serta perjuangannya sebagai seorang buruh. Menjadi seorang buruh bukanlah sesuatu yang diinginkan Siti, namun semua ini dilakukannya karena satu hal yang sangat dicintanya. Keluarga.
Lahir di Magelang tahun 1973, Siti tumbuh sebagai seorang gadis yang disayang oleh keluarganya. “Saya termasuk yang beruntung. Karena dari semua anak orang tua saya, hanya dua yang disekolahkan dan saya salah satunya”, senyumnya. Budaya di desa kelahiran Siti masih sangat konservatif. Bagi mereka, wanita yang menikah sesudah lulus Sekolah Dasar adalah hal yang wajar dan bahkan wajib. Tidak dapat dielakkan, Siti harus menikah di usianya yang muda belia karena perjodohan yang disetujui oleh pihak keluarga. Salah satu alasan mengapa pernikahan ini tidak dapat ditolak oleh keluarganya adalah karena calon pengantin pria yang melamar mempunyai hubungan darah dengan Lurah setempat. Hati Siti berontak. Ia tidak mau menikah. Keinginan terbesarnya saat itu adalah melanjutkan pendidikannya.
Setibanya di Jakarta ia masuk keluar di tiga pabrik yang berbeda sebelum mendirikan usaha warung tegal (warteg) bersama dengan temannya. Alasan ia keluar, atau lebih tepat dikeluarkan adalah karena ia melakukan perlawanan terhadap manajemen pabrik. Banyak buruh di pabrik yang tidak diperlakukan dengan adil. “Buruh tidak dihargai lebih baik dari mesin. Mesin mendapat perawatan, tapi kalau orang sakit harus tetap kerja. Ini adalah penjajahan secara sistematis!”, ujarnynya penuh semangat.Selama lebih kurang 2 tahun Siti bekerja di warteg dan rumah makan Padang. Ia merasa bahwa pendapatannya tidaklah cukup. Kekurangan yang dirasakannya bukanlah karena keserakahan, namun keinginan untuk mengirimkan uang lebih untuk orang tuanya. Melalui sebuah iklan di jalanan, Siti melamar di sebuah perusahaan asing dan berhasil diterima. Lagi – lagi ia bekerja sebagai buruh. Perusahaan asing tersebut dimiliki oleh orang Korea yang ternyata adalah sebuah kasino.
Awalnya semua berjalan lancar. Tamu – tamunya ramah. Pekerja diperlakukan adil. Namun suatu waktu, pemilik kasino tersebut kabur begitu saja, meninggalkan lebih kurang 120.000 karyawan tanpa ada tanggung jawab. Nasib para karyawan terkatung – katung di tengah kejadian tak terduga tersebut. Pihak manajemen menjanjikan sejumlah uang kepada para buruh dan karyawan melalui hasil penjualan kasino tersebut. Namun Siti berhasil mengetahui bahwa jumlah uang hasil penjualan kasino tersebut ternyata lebih banyak dari yang dijanjikan. Mulai dari situlah, pihak manajemen kasino tersebut memusuhi Siti dan melakukan propaganda sehingga semua karyawan dan buruh juga melakukan hal yang sama.
Kejadian itu membuat Siti semakin berapi – api dalam memperjuangkan hak kaum buruh. “Lamar, setengah hari kerja, lalu dipecat. Itu sudah sering saya alami”, ujarnya dengan santai. Sejak tahun 1993, ia terus berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain. Di kebanyakan pabrik tempat Siti melamar, ia selalu ditunjuk secara akalamasi menjadi ketua buruh. Siti selalu mengadakan perlawanan kepada pihak manajemen pabrik apabila ia melihat ada ketidakadilan terhadap kamu buruh tempat ia berkerja. Hal ini jugalah yang menyebabkan ia selalu dipecat bersama dengan teman – teman aktivisnya. “Keluar masuk pabrik sudah lebih dari 10 kali. Menghadapi kapitalisme. Mereka ingin keuntungan yang sebesar – besarnya sehingga kami, para buruh selalu diperas”, katanya.
Dalam perjuangannya, Siti pernah ditangkap dan diinterogasi. Bahkan pemberitaan dirinya muncul sebagai headline di salah satu media cetak bersama dengan 8 buruh wanita lainnya. “Ada pikiran ingin berhenti, namun ya kembali lagi aku tidak tega melihat buruh dianjing – anjingin”, ujarnya kesal. Keteguhan hati dan integritasnya mendapatkan pujian dari banyak orang. “Omongannya tegas. Orangnya berani berargumen. Mbak Fiqoh lebih dari aktivis – aktivis lain karena komitmen dan kejujurannya”, cerita Hasirin, salah seorang buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Bangkit.Apa yang menjadi kekuatannya untuk terus bertahan walaupun menderita? “ Suatu ketika aku melihat satu ruangan tempat tinggal buruh yang dijejalin oleh berpuluh – puluh orang. Dari situ aku melihat bahwa di pundak seorang buruh, berpuluh – puluh nyawa bergantung padanya. Anaknya. Orang tuanya.”, ungkap Siti.Selesai bercerita ia tersenyum ramah. “Setia pada apa yang kita kita yakini baik”, pesannya kepada para mahasiwa/i yang mewawancarainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar