Selasa, 26 Oktober 2010

Secercah Harapan dalam Musibah

Sembilan Oktober 2010. Hari itu hari Sabtu. Matahari bersinar terik, menyilaukan setiap orang yang memandangnya. Dari kejauhan tampak seorang pria paruh baya yang tengah berteduh di bawah bayang – bayang pohon bakau. Ketika dihampiri, ia tersenyum ramah sambil menawarkan tempat duduk. “Nama saya Warto,” jawabnya sambil bersalaman. Sambil berkenalan, pria kelahiran Cirebon ini pun bercerita. “Lagi nunggu penumpang, Mas,” senyumnya. Bermodalkan sebuah motor hitam, Warto mencari pekerjaan sampingan dengan mengojek. Sehari – hari, Warto merupakan pekerja di salah satu pabrik kopi yang terletak di daerah Tanjung Priok. Hari Sabtu dan Minggu tidak digunakannya untuk bersitirahat, tapi mencari tambahan uang untuk menafkahi istri dan anaknya yang berada di Kuningan, Jawa Tengah.

Perantauan Warto di Jakarta dimulai dari tahun 1995. Ia mengontrak sebuah rumah di samping kali, dekat daerah Tanjung Priok. Warto mengaku baru pertama kali nongkrong di daerah RE Martadinata. “Biasanya orang – orang dari konveksi kain lewat sini, jadi gak perlu muter jauh,” jawabnya sambil menunjuk jalan sempit di samping RE Martadinata. Dengan sabar, ia terus menunggu orang – orang yang akan menggunakan jasanya. Terpaan debu pasir serta teriknya matahari tidak mematikan semangatnya. Semuanya bermula dari sebuah harapan kecil dari hati yang tulus untuk memberikan hidup yang lebih baik lagi bagi keluarganya.

Di samping jalan kecil yang disebut Warto tadi, terlihat banyak anak kecil yang sedang bermain sepakbola. Sedangkan di dekat pintu masuk jalan kecil tersebut, beberapa anak remaja dengan kisaran umur antara 16 sampai dengan 20 tahun berjalan mondar – mandir. Salah satu diantaranya memegang kotak sumbangan. Ia meminta sumbangan seribu rupiah untuk setiap motor yang akan melintasi jalan kecil tersebut. Tiba – tiba sebuah motor merah melaju tanpa memperlambat laju kecepatannya. Pengendara motor tersebut enggan memberikan sumbangan dan memaksa untuk lewat. “Aduh!,” terdengar jeritan dari salah seorang remaja tersebut. Ternyata kakinya terlindas oleh motor merah tadi. Motor tadi lewat begitu saja, meninggalkannya tanpa sepatah pun kata maaf.

Jalanan kecil tersebut hanya mempunyai lebar sekitar 3 sampai dengan 4 meter . Selain itu jalanannya penuh dengan bebatuan sehingga mustahil bagi mobil untuk melewatinya. Hari semakin sore dan antrian motor semakin panjang. “Daripada muter jauh, bagusan lewat sini,” ujar Okem, salah satu dari remaja yang menjaga jalan itu. Jalanan kecil tersebut merupakan jalan alternatif yang menghubungkan Sunter dan Tanjung Priok. Okem bercerita bahwa jalan tersebut dikeruk dan ditimbunin pasir sehingga dapat dilewati oleh motor dan sepeda. “Oh, ini kerjaan teman – teman bersama,“ ujarnya ketika ditanya siapa yang mengerjakan jalan tersebut.
Okem tinggal bersama dengan orang tuanya di Gang Bahari I, Kebun Kelapa. Anak kedua dari enam bersaudara ini baru saja lulus SMA. Hari – harinya dilewati dengan membantu ayahnya di bengkel. “Dulu harus bolak – balik dari Jakarta ke Bekasi, Bekasi ke Jakarta buat bantu – bantu bokap. Sekarang si udah gak lagi,” jawabnya. Sekarang Okem menganggur. Bersama dengan teman – temannya ia mendapatkan penghasilan dari sumbangan para pengendara motor yang lewat di jalan kecil itu. Dalam sehari, remaja berlogat Jawa ini bisa memperoleh sekitar tiga puluh ribu rupiah. “Buat nambah – nambah uang jajan,” celetuknya.

Musuh Okem bukan hanya teriknya matahari. Tak jarang juga ia menggigil kedinginan ketika hujan turun. Apalagi beberapa hari ini televisi selalu menyiarkan berita tentang hujan di daerah RE Martadinata. Banjir menjadi bencana yang tak terelakkan bagi Okem, teman - temannya dan pengguna jalan kecil tersebut. Lantas bagaimana keadaan jalan tersebut ketika hujan ? “Kami tutup jalannya. Tapi masih saja ada yang bandel ingin menyerobot masuk. Akibatnya ya jatuh dalam lumpur,” tawa Okem.
Satu – satunya penghiburan bagi Okem dalam pekerjaan ini hanyalah canda tawa dan waktu bersama dengan teman – temannya. Dengan sedikit penghasilan dari pekerjaan sambilan ini, Okem ingin meringankan beban orang tuanya yang telah bersusah payah.

Walaupun sekarang Okem menganggur, namun ia tidak berputus asa. “Saya sudah melamar jadi OB di Mangga Dua. Tapi masih belum ada panggilan,”jawabnya penuh antusias. Langit semakin gelap, pertanda malam akan tiba. Saatnya juga bagi Okem untuk pulang. Diatas kedua pundaknya tersimpan harapan orang tuanya terhadap dirinya. Okem tersenyum sambil berlalu. Seolah – olah senyuman itu berkata : “ Aku tidak akan mengecewakan mereka.”

oleh : Rudy (915080193)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar